Senin, 14 Januari 2008

"KWETIAU SEROJA BARU" MASIH SETIA DENGAN DAUN SIMPUR

oleh Nurul Hayat

Jangan mengaku penikmat kwetiau (mie tiau) Pontianak sejati, bila tak kenal "Restoran Kwetiau Sapi Seroja Baru", restoran kwetiau yang tetap setia dengan bungkus "daun simpur"-nya sejak 1958.

Restoran yang berada di Jl Diponegoro Pontianak tersebut, sejak 50 tahun lalu berjualan makanan yang berbahan dasar mie putih dari tepung beras.

Kwetiau produk Restoran Kwetiau Sapi Seroja Baru, memang berbeda dengan kwetiau lain. Selain rasanya yang lezat, yang menjadi pembeda adalah pembungkusnya; "daun simpur".

"Penggunaan daun simpur sebagai pembungkus kwetiau sudah berlangsung sejak restoran masih dikelola mendiang ayah saya," kata Paiman Candra, pemilik Restoran Kwetiau Sapi Seroja Baru, Rabu.

Daun simpur diperolehnya dari seseorang. "Biasanya diantar dua hari sekali. Ini sudah ada sejak lama. Lama sekali....," katanya.

Ketika awal berdiri, Kwetiau Sapi Seroja Baru, hanyalah warung kaki lima. Seiring dengan semakin bertambahnya jumlah pelanggan, usaha Kwetiau Seroja Baru tersebut kemudian menempati sebuah rumah toko (ruko) di kawasan Pasar Seroja lama.

Sudah lebih 10 tahun ini, Restoran Kwetiau Sapi Seroja Baru menempati salah satu ruko di kawasan perdagangan Jl Diponegoro. Lokasi itu kemudian pepuler dengan julukan Seroja Baru. Lokasinya sangat strategis, karena berada persis di sisi kanan Hotel Santika Pontianak. Setiap tamu hotel biasanya mampir sejenak ke restoran tersebut.

Paiman yang melanjutkan usaha peninggalan orang tuanya itu, menyatakan hanya restorannya yang menggunakan daun simpur sebagai pembungkus. Alasannya, karena daun tersebut harum. Kwetiau yang dibungkus daun simpur, menjadi harum, terlihat menarik dan mengundang selera.

Namun untuk bisa digunakan sebagai pembungkus, lembaran daun simpur mesti dicuci dengan air bersih dan dikeringkan satu demi satu. "Jika sudah bersih, baru dapat dipergunakan sebagai pembungkus," katanya.

Sejak beberapa tahun terakhir, daun simpur sulit ditemukan. Sehingga restoran milik Paiman pun adakalanya kehabisan stok daun pembungkus itu.

"Jika persediaan menipis, kami cepat-cepat memesan daun ini lagi kepada orang yang biasa mengantar ke sini," katanya tanpa menjelaskan dari mana asal daun tersebut.


Dillenia eximia
Daun simpur berasal dari tanaman bernama latin "dillenia eximia". Beberapa literatur online, menyebutkan daun simpur memiliki ciri-ciri berwarna hijau tua, berukuran besar mirip daun mengkudu namun lebih lebar lagi. Memiliki tulang daun yang tampak jelas dan pada lembaran daunnya terdapat bulu-bulu halus.

Hanya sedikit literatur yang mengungkap keberadaan tanaman simpur, meski tanaman tersebut diketahui berasal dari Indonesia.

Di sejumlah daerah, semisal Kalbar dan Jawa Barat, penduduknya menyebut tanaman "dillenia eximia" atau "dillenia aurea" atau "dillenia spigata" sebagai simpur. Namun orang Jawa menamakan junti.

Sebagian orang tua di wilayah Kalbar sangat mengenal tanaman ini. Karena biasa digunakan sebagai pembungkus nasi oleh peladang berpindah di pedalaman Kalbar.

"Sewaktu kecil, kami biasa melihat daun simpur digunakan sebagai pembungkus nasi orang Dayak yang hendak ke ladang," kata Nazariyah (64).

Nasi yang dibungkus dengan duan simpur, akan terasa hangat lebih lama. "Saya pun sering mencicipi nasi yang dibungkus dengan daun simpur itu," kata Nazariyah yang lahir dan tumbuh hingga remaja di Sanggau.

Muhammad Bayu (35) berkisah, ketika kecil sering mengumpulkan daun simpur di hutan dekat tempat tinggalnya di kawasan Siantan, Pontianak Utara. Daun tersebut kemudian ia jual kepada pedagang di pasar tradisional di Kota Pontianak.

"Uang hasil penjualan daun simpur, untuk jajan (membeli kue atau makanan lainnya)," kata Bayu yang kini menjadi koresponden pada salah satu stasiun televisi swasta.

Sementara dari beberapa literatur, pohon simpur memiliki ciri khusus dan dikenal sebagai pohon yang bisa menangis. Pohonnya termasuk jenis kayu dari keluarga "dilleniaceae".

Pohon simpur bisa mencapai 27 meter dengan diameter batang 70 centimeter. Bagian kayu tidak begitu kuat dan berada satu tingkat di bawah pohon Jati. Pohon simpur tumbuh pada 600 meter di atas permukaan laut.

Keluarga pohon "dillenia" memiliki sifat-sifat khusus, sehingga pohon ini dikelompokkan dalam satu famili. Kayu "dillenia" mempunyai serat-serat memanjang yang tidak putus-putus dari bawah sampai ke ujung batang. Dengan dinding-dinding serat yang sedikit alot.

Adanya pengisapan zat-zat makanan dari daun yang cukup kuat, serta tekanan dari akar yang relatif sangat kuat menyebabkan tekanan udara di dalam serat-serat menjadi lebih besar dari tekanan udara di sekitarnya. Sampai saat ini, para ahli masih berbeda pendapat mengenai penyebab tekanan udara yang lebih besar tersebut.

Jika cuaca agak panas, tekanan udara akan lebih besar lagi, sehingga menyebabkan tekanan udara di sekitar menjadi berkurang.

Jika pohon simpur dilukai dengan cara ditebang atau dicongkel-congkel dengan pisau, pembuluh di dalam serat akan terluka dan putus-putus. Akibatnya udara di dalam batang akan menekan keluar. Karena lubang-lubang pembuluh berukuran sangat sempit, menyebabkan timbul bunyi mendesis terus-menerus, hingga tekanan udara di dalam kayu sama dengan tekanan udara di luar.

Bunyi mendesis yang terdengar, seperti orang sedang menangis. Suara "tangisan" tersebut tidak jarang disertai dengan keluarnya cairan berwarna agak kemerahan dari bekas luka pada bagian batang yang terkena irisan pisau.

Kini, daun simpur amat jarang ditemukan. Restoran kwetiau milik Paiman Candra, tetap setia menggunakan pembungkus itu meski harus bersabar menunggu datangnya si pengantar daun.


Kwetiau
Kwetiau merupakan salah satu makanan khas masyarakat peranakan Tionghoa. Makanan yang berbahan dasar mie putih ditambah irisan daging (sapi/babi), sedikit sayur sawi atau tauge, dan dibumbui lada dan kecap manis itu selalu mengundang selera.

Bondan Winarno, pembawa acara kuliner salah satu stasiun televisi swasta, pernah berkunjung ke Pontianak untuk merasakan sensasi dari makanan tersebut. Bondan yang datang pada September 2007, mampir di salah satu warung kwetiau yang bernama Apolo, di Jl Pattimura.

Sebenarnya, ada beberapa lokasi warung atau restoran kwetiau yang terkenal di Pontianak. Pembeli tidak perlu ragu mengenai kehalalannya. Karena setiap restoran tersebut memberi label "halal" di pintu masuk atau gerobak jualannya. Jika pun tidak ada tulisan "halal", bisa bertanya sebelum membeli.

Warung Kwetiau Apolo, persis bersebelahan dengan Warung Kwetiau Polo, keduany sama-sama terkenal. Selain itu ada Restoran Kwetiau Antasari di Jalan Antasari, dan tentu saja Restoran Kwetiau Sapi Seroja Baru.

Adapula kwetiau lainnya di kawasan Pecinan, Jalan Gajah Mada dan Tanjungpura. Namun untuk kawasan tertentu itu, pembeli muslim mesti berhati-hati. Banyak tempat makan kwetiau yang khusus untuk warga nonmuslim, karena mengandung babi.

Jika secara kebetulan singgah dan ingin mencicipi makanan ini, hendaknya jangan malu bertanya.

Adapula kwetiau bakar yang proses pembuatannya dibakar di atas tungku arang. Lokasinya, di Jalan HOS Cokroaminoto.

Jika ragu membeli kwetiau "made in" Tionghoa, masih ada tempat lain yang juga menjual menu ini, seperti Warung Nasi Jawa di Jl Johar. Kwetiau atau mie goreng yang dibuat di warung itu juga menggunakan tungku. Kemudian warung mie goreng di Jalah Tanjungpura, yang tidak memiliki nama khusus, namun juga cukup laris.

Harga setiap porsi kwetiau bervariasi dari Rp8.000 hingga Rp12.000. Meski relatif mahal, namun setiap tempat memiliki rasa khas. Kebanyakan warga Pontianak pencinta kwetiau, enggan pindah dari satu warung atau restoran ke tempat lainnya.

Kwetiau, juga dijual di warung bakso Jalan Merdeka dan Jalan Sutan Abdurrahman. Keduanya cabang dari Bakso PSP (Suster) yang pusatnya di Jalan Kartini, juga sangat laris hingga Jakarta.
Sementara khusus kwetiau dari Restoran Kwetiau Sapi Seroja Baru, menurut Paiman Candra, sudah memiliki cabang di Jakarta.

Ada empat tempat, yakni Komplek Pertokoan Green Ville Blok BG No 5 Jakarta Barat, Mal Taman Anggrek Lantai 4 Food Court, ITC Campaka Mas Lantai 5 No 74 Cempaka Putih, dan Komplek Sutera Niaga No 26 Alam Sutera Serpong (Tangerang).

"Jika ingin makan di tempat-tempat itu, bilang saja, saya orang Pontianak, dan minta dimasakkan kwetiau khas Pontianak," katanya.

Kamis, 03 Januari 2008

SELAMA 2007 TERPANTAU 7.499 HOTSPOT DI KALBAR

Pontianak, 3/1 (ANTARA) - Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kalimantan Barat dalam evaluasi lingkungan hidup selama 2007, mengungkapkan terdapat sebanyak 7.499 hotspot atau titik panas akibat kebakaran hutan dan lahan di provinsi tersebut sepanjang tahun lalu.

Kepala Bapedalda Kalbar, Tri Budiarto, di Pontianak, Kamis, mengatakan, jumlah titik panas terbanyak terjadi pada Agustus dan September.

Data titik panas yang dicatat Bapedalda, berdasarkan data per hari dari satelit National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) yang memantau titik panas seluruh kabupaten/kota di wilayah Kalbar sepanjang Maret hingga Oktober.

Berkaitan masih banyaknya aktifitas pembukaan lahan dengan cara bakar, menurut Tri, selama 2007 telah melakukan sejumlah upaya guna menyosialisasikan penanggulangan kabut asap.

Upaya tersebut semisal mengukuhkan sembilan kelompok peduli api di Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Pontianak, mengadakan workshop kesiapsiagaan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan dan bencana asap, serta sosialisasi pengolahan lahan tanpa bakar kepada 150 orang yang berada di sekitar bandar udara Supadio.

Selama tahun 2007 pula, dua perusahaan yang diduga melakukan kegiatan pembakaran lahan juga diproses sesuai ketentuan hukum. Kedua perusahaan dimaksud, PT Wilmar Sambas Plantation (PT WSP) dan PT Buluh Cawang Plantation (PT BCP). Namun Majelis Hakim Pengadilan Negeri Singkawang memvonis bebas kedua perusahaan tersebut karena tidak terbukti bersalah.

Kejaksaan Negeri Sambas melalui Kejaksaan Tinggi Kalbar mengajukan peninjauan kembali (PK) atas perkara itu, demikian Kepala Bepedalda, Tri Budiarto.

USKUP KALIMANTAN AJAK UMAT BERTOBAT ATASI KERUSAKAN LINGKUNGAN

Pontianak, 3/1 (ANTARA) - Para uskup se Kalimantan mengeluarkan Surat Gembala pada akhir Desember 2007 yang isinya berupa ajakan agar umat bertobat sebagai upaya nyata mengatasi kerusakan lingkungan yang semakin parah.

Dalam Surat Gembala yang diterima ANTARA di Pontianak, Kamis, para uskup menyatakan meningkatnya pencemaran air sungai, danau dan laut, tanah dan udara, pembakaran dan kebakaran hutan, pengurasan tambang secara rakus, pengalihan fungsi hutan rakyat dan lahan pertanian, penimbunan sampah di pemukiman padat penduduk, mengakibatkan kemerosotan mutu lingkungan hidup.

Surat Gembala yang dikeluarkan enam uskup di Kalimantan, termasuk salah satunya, Uskup Agung Pontianak, Mgr. H. Bumbun, OFM. Cap tersebut, mengutip pernyataan Paus Yohanes Paulus II, yang mengatakan krisis lingkungan hidup pada dasarnya adalah masalah moral.

Oleh sebab itu pertobatan adalah suatu keharusan. Wujudnya adalah memperlakukan bumi dan segala ciptaan secara bertanggung jawab, karena alam semesta diciptakan oleh Allah demi kemuliaan-Nya dan kesejahteraan manusia.

Para uskup se Kalimantan, terdiri atas Uskup Agung Pontianak Mgr H Bumbun, OFM. Cap, Uskup Agung Samarinda Mgr Fl Sului, MSF, Uskup Ketapang, Mgr Bl Pujaraharja, Uskup Palangkaraya Mgr A Sutrisnaatmaka, MSF, Uskup Banjarmasin Mgr F.X Prajasuta, MSF, Uskup Sanggau Mgr Y. Mencuccini, CP, Uskup Sintang Mgr Agustinus Agus dan Uskup Tanjung Selor, Mgr Y. Harjosusanto, MSF.

Menurut mereka, pengrusakan dan kerusakan lingkungan hidup telah menjadi keprihatinan besar karena mengancam kelangsungan kehidupan di bumi ini.

Kemerosotan mutu lingkungan hidup mengakibatkan kekacauan musim, kekeringan, banjir dan tanah longsor, musnahnya berbagai jenis hewan dan tumbuhan, pemanasan bumi dan naiknya permukaan air laut, sehingga malapetaka ahsyat mengamcam umat manusia, yaitu kehancuran bumi.

Rusaknya lingkungan hidup di tingkat lokal berdampak pada tingkat nasional, internasional, bahkan global. Maka pelestarian dan peningkatan mutu lingkungan hidup di tingkat lokal, bukan hanya bermanfaat bagi kepentingan setempat, tetapi juga kepentingan yang lebih luas.

Menyikapi keadaan gawat itu, PBB telah berulang kali menyelenggarakan konperensi internasional. Baru-baru ini telah dilangsungkan pertemuan internasional tentang perubahan iklim yang diselenggarakan di Bali pada bulan Desember 2007.

Setiap penghuni bumi ini harus menyadari betapa penting dan mendesaknya tindakan nyata untuk menyelamatkan bumi kita dari kehancuran.


Tak berdiri sendiri
Surat Gembala juga mengatakan, masalah lingkungan hidup tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan semua bidang kehidupan, seperti hukum, politik, ekonomi, social, budaya, mental dan moral.

Oleh karena itu masalah lingkungan hidup perlu dilihat dari berbagai sudut pandang dan ditangani secara serentak dan terpadu oleh semua pihak.

Kepedulian terhadap masalah lingkungan hidup merupakan suatu keharusan dan panggilan. Sikap acuh tak acuh terhadapnya merupakan kejahatan, karena mengabaikan keselamatan umat manusia.

Gereja yang dipanggil untuk meneruskan kebaikan dan kasih Allah kepada umat manusia sadar bahwa menyelamatkan umat manusia dari kehancuran bumi adalah pelaksanaan perintah cintakasih.

Dalam ensikliknya yang pertama, Redemptor Hominis Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa kepedulian terhadap lingkungan hidup adalah bagian hakiki dari Ajaran Sosial Gereja.

Nota Pastoral KWI 2005, SGKI 2005 dan APP 2008 mendorong seluruh umat dan semua pihak untuk menghadapi masalah lingkungan hidup dengan tindakan nyata.

Kepedulian Gereja tidak terbatas pada imbauan dan arahan, tetapi juga dalam tindakan nyata dari gereja setempat.


Kemerosotan
Tertulis lebih lanjut dalam Surat Gembala tersebut, penyebab kemerosotan mutu lingkungan hidup itu serumit segala kenyataan hidup. Akan tetapi penyebab utamanya adalah mentalitas mengajar kenikmatan sepuas-puasnya dan memiliki sebanyak-banyaknya.

Mentalitas ini membuat orang tidak lagi mempedulikan Allah, kecuali dirinya sendiri, tidak lagi menghargai kehidupan dan menghalalkan segala cara.

Sikap dan gaya hidup ini tidak peduli terhadap keutuhan lingkungan hidup dan keharmonisan ciptaan. Tidak mau tahu bahwa bumi ini untuk semua manusia, termasuk generasi yang akan datang.

Mentalitas serakah dan rakus ini hanya memikirkan bagaimana meningkatkan taraf hidup dan mengabaikan mutu hidup. Keinginan meningkatkan taraf hidup tidak ada salahnya, menjadi salah bila mutu hidup dikorbankan demi taraf hidup dalam bidang ekonomi.

Karena itu, menurut para uskup lagi, masalah lingkungan hidup menuntut adanya tindakan nyata dari semua pihak. Pemerintah dan wakil rakyat harus berkiblat pada pelestarian alam. Menghormati kearifan local dan berpihak pada rakyat. Mengundang investor bukan hanya untuk peningkatan pendapatan daerah, melainkan juga sungguh untuk kesejahteraan rakyat.

Selain itu, para pengusaha harus menaati peraturan, mempedulikan hak dan kesejahteraan masyarakat setempat, menghentikan pembabatan hutan dan penambangan secara liar, dan menjaga lingkungan agar pencemaran air dan udara tidak berlanjut.

Sementara para penegak hukum, harus berani menindak tegas pengusaha yang tidak menaati peraturan dan merugikan masyarakat. Orang tua dan pendidik menanamkan nilai-nilai cinta kehidupan kepada anak-anak sejak dini baik di rumah maupun di sekolah.

" Kita masing-masing tidak dapat menghadapi masalah besar ini sendiri, namun demikian apa yang bisa kita dapat kerjakan harus kita mulai. Kita semua, tua-muda harus berani mengerjakan hal-hal yang sederhana seperti menjaga kebersihan lingkungan rumah dan kampung, menanam pohon dan tanaman hias, dan melestarikan hutan rakyat," katanya .

"Kita adalah bagian dari bumi, maka kita harus bertanggung jawab atas kelestariannya dan menjaga agar semakin layak dihuni. Kalau bukan kita siapa lagi? Kalau tidak sekarang kapan lagi? Kalau tidak ditempat kita, dimana lagi?" jelas isi Surat Gembala.

Selain itu, kerusakan lingkungan hidup sudah parah, tetapi tidak bolah patah semangat dan putus harapan.

" Di tengah-tengah kesuraman itu kita melihat tumbuhnya semangat persaudaraan dan rasa tanggung jawab social. Adanya gerakan penanaman pohon secara nasional, tumbuhnya kesadaran untuk mencintai kehidupan, dan alam serta mendekatkan diri kepada Sang Pencipta yang menghendaki keselamatan seluruh ciptaanNya," kata para tokoh itu .

Upaya-upaya pelestarian lingkungan hidup, baik lingkungan kecil maupun yang lebih luas harus diteruskan dan ditingkatkan kalau rakyat tidak menghendaki kehancuran menjadi lebih parah.

"Kita perlu mawas diri dan bertobat, berani bertindak sesederhana apapun yang berguna bagi penyelamatan bumi dari kehancuran. Semoga Allah yang Mahakuasa dan Mahakasih memberkati kita semua yang peduli terhadap ciptaanNya," demikian isi Surat Gembala.

Selasa, 01 Januari 2008

WARGA PONTIANAK SAMBUT TAHUN BARU DENGAN BERBAGAI KEGIATAN

Pontianak, 1/1 (ANTARA) - Warga Kota Pontianak, Kalimantan Barat, mengadakan sejumlah kegiatan meski hujan rintik-rintik sempat turun saat detik-detik menjelang pergantian tahun dari 2007 ke 2008.

Kegiatan menyambut tibanya tahun 2008 tersebut, semisal kumpul bersama, pawai keliling kota, renungan di masjid, pesta kembang api dan "nongkrong" di warung-warung kopi, demikian ANTARA melaporkan, Selasa.

Kegiatan kumpul bersama seperti yang dilakukan oleh sejumlah karyawan perusahaan media yang menerbitkan Harian Borneo Tribune. Belasan karyawan perusahaan yang sudah beroperasi sejak tujuh bulan lalu itu, mengisi malam pergantian tahun dengan berkumpul di salah satu rumah di komplek Sakura Permai, kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya.

Selain makan-makan, mereka menyambut kedatangan tahun 2008 dengan perenungan perjalanan perusahaan tersebut.

Hidangan semisal soto ceker ayam, makanan khas Jepang sabu-sabu, ikan pari bakar, dan tidak ketinggalan jagung bakar yang menjadi menu khas acara "Tahun Baruan".

Pemimpin Redaksi Borneo Tribune, Nur Iskandar dalam sambutannya mengajak karyawan perusahaan tetap bekerja keras di tahun 2008.

Sementara konsultan bisnis perusahaan tersebut Michael Yan Sriwidodo mengajak para karyawan untuk introspeksi diri mengenai apa yang akan dilakukan untuk pribadi masing-masing di tahun 2008 ini.

"Setelah untuk diri sendiri, apa yang akan kita perbuat untuk keluarga. Kemudian baru untuk perusahaan," katanya.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalbar tersebut juga mengingatkan bahwa masing-masing orang yang ada di media itu memiliki talenta dan kemampuan yang dapat dikembangkan.

"Maka dari itu, untuk tahun 2008 masing-masing hendaknya dapat lebih maju lagi," katanya penuh harap.

Sementara hujan rintik-rintik membasahi tanah dan jalan-jalan ketika detik-detik menjelang akhir tahun berlangsung. Warga kota berpenduduk sekitar 500 ribu jiwa tersebut tampak tidak terusik dari kegiatan menyambut tahun baru meski hujan.

Di tempat terpisah, iring-iringan kendaraan roda dua yang berpawai keliling kota sedang berlangsung hingga memasuki pukul 01.00 WIB. Pawai kendaraan bermotor terlihat di ruas Jalan Hasanuddin, kawasan Sungai Jawi. Kondisi yang sama juga berlangsung di Jalan H Rais A Rahman dan Ahmad Yani.

Penduduk yang bermukim di Sekitar Jalan H Rais A Rahman menyambut pergantian tahun dengan memainkan kembang api di gertak atau jembatan yang membentang di atas Sungai Jawi, sebuah anak Sungai Kapuas.

Sementara di taman Alun Kapuas, Jalan Rahadi Oesman, terdapat tumpukan sampah bekas plastik minuman mineral dan makanan ringan. Sisa dari tempat berkumpulnya ribuan warga yang "tumpah ruah" menyaksikan pentas malam tahun baru dan pesta kembang api yang diselenggarakan Pemerintah Kota Pontianak.

Di Masjid Raya Mujahidin, masjid terbesar di Kalbar, sejumlah orang bertafakur, melakukan perenungan. Kegiatan rutin tahunan itu belangsung khidmat.

Di tempat lain, sejumlah anak muda tampak "nongkrong" di warung-warung kopi. Warung kopi di pinggiran Jalan Gajah Mada dan Tanjungpura dipenuhi orang yang mengobrol sambil minum kopi. Hingga dinihari , sejumlah warung kopi masih melayani pembeli yang lelah seusai berpawai kendaraan.